Menu

Kamis, 19 Mei 2011

Ngajarin anak bahasa daerah, siapa takut?

Diantara anggota keluarga yang lain aku yang beda sendiri. Kakak dan adikku semuanya menggunakan bahasa Aceh untuk berkomunikasi dengan nyanyak dan ayah. Klo aku, somehow, semua orang pasti berbicara bahasa Indonesia padaku. Misalkan nyanyak nyuruh aku untuk makan, "adek, makan malam", nah klo manggil cut'a atau cut ubit : "cut ubit, cut a pajoh bu". Nah lho? kenapa juga beda yah. Kata nyanyak waktu kecil kami sekeluarga sempat tinggal di Jakarta, karena ayah harus sekolah di Jakarta. Saat itulah aku lahir. Karena nggak berada di lingkungan orang-orang Aceh, jadinya aku cenderung jarang mendengar orang-orang ngobrol bahasa Aceh. Meskipun begitu, keluarga inti (nyanyak, ayah, cut'a dan sida) tetap ngomong bahasa Aceh. Singkat cerita jadilah aku menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dimana saja, kapan saja. Meskipun terkadang aku juga bisa sedikit-sedikit berbicara bahasa Aceh,tapi nggak lancar dan seringnya diketawain.

Saat kuliah aku memutuskan untuk hijrah ke Jakarta raya. Diawal masa perkuliahan, aku sering diketawain karena logat bicaraku yang menurut mereka "aneh". Logat bicaraku memang persis seperti orang sumatra. Kata teman2ku agak-agak mirip ma orang padang or orang batak (maklum kampusku bener-bener multi-suku). Jadilah sering aku diketawain klo aku ngomong, cuma cuek bebek ajalah, toh banyak juga orang-orang yang berbicara dengan logat jawa atau sunda tapi nggak diketawain. Jadi biar ajalah, itulah yang menjadi ciri khas masing-masing.

Sejak memutuskan untuk menikah, aku bilang sama abang, klo aku ingin menerapkan bahasa Aceh menjadi bahasa yang kita gunakan sehari-hari, Alhamdulillah abang setuju. Aku nggak kepengen anak-anakku jadi buta sama sekali sama bahasa daerahnya. Menurutku kalo bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, mereka pasti bisa mempelajarinya, sedangkan bahasa Aceh, kalo bukan orang tua yang mengajarkannya siapa lagi? Meskipun orang tua nya masih belom lancar ngomongnya. Maklum di keluarga abang, meskipun berasal dari Aceh, orang tua dan adik kakaknya berbicara bahasa Indonesia, meskipun kata mama mertuaku, mama dan Alm papa berbicara bahasa Aceh, tapi kepada anak-anaknya mama dan papa pasti berbicara bahasa indonesia. Abang dan aku adalah orang yang berbicara bahasa Aceh secara pasif (klo ada yang berbicara bahasa Aceh ngerti, cuma klo berbicara bahasa Aceh susah, lidahnya kelu, seperti kita jarang berbicara bahasa Inggris).

Singkat cerita neh, sejak hari pernikahan kami, mulailah kami sedikit demi sedikit berbicara bahasa Aceh. Awalnya lucu juga, kami bicara pake bahasa Acehnya salah2. Abang ketawain klo aku bicara dan sebaliknya. Trus kalo kita silaturahmi kerumah sodara, dengan PeDe nya aku dan abang bicara bahasa Aceh. Sering kali aku dan abang ditertawakan karena kami nggak tau yang mana bahasa Aceh yang sopan, yang mana bahasa Aceh yang kasar. Karena kami tetap PeDe bicara bahasa Aceh, lama kelamaan keluarga kami juga mulai bicara dengan menggunakan bahasa Aceh. Aku sendiri merasa sejak aku berbicara bahasa Aceh, aku merasa lebih dekat dengan keluargaku, bahasa Acehnya "meudroe".

Seiiring berjalannya waktu, kami semakin lancar bicara dalam bahasa Aceh. Dikantor aja (waktu aku kerja dulu) kalo bicara dengan abang aku juga bicara pake bahasa Aceh. Ada untungnya lho, klo kami bicara sesuatu yang rahasia, orang lain nggak ngerti (hehehhe). Sampai akhirnya amina lahir. Dari amina bayi, meskipun dia belom bisa bicara, kami tetap bicara dalam bahasa Aceh. Dan saat mulai dia belajar bicara, dia bicara dalam bahasa Aceh, duh senangnya akhirnya amina bisa juga bicara bahasa Aceh. Kadang klo kami bawa amina kerumah sodara-sodara, mereka pada kaget, jaman gini mana ada lagi orang yang ngajarin anaknya bahasa daerah. Ada juga para orang tua ngajarin anaknya bahasa Inggris, Perancis, German atau apa aja. Kadang ada yang bilang kami kuno lah, atau ada juga yang meragukan paling sebentar lagi amina klo udah agak gedean pasti nggak mau bicara lagi pake bahasa Aceh, karena malu dengan teman2 nya.

Berdasarkan pengalaman nyanyak, cut ubit dulu juga gitu. Awalnya dia bicara bahasa Aceh, trus pas sekolah dia udah mulai malu ngomong bahasa Aceh, kalo ada yang bicara pake bahasa Aceh pasti dijawab pake bahasa Indonesia. Cuma nyanyak ma ayah nggak mau goyah. Cut ubit tetap harus bicara bahasa Aceh dengan orang tua dan keluarganya. Kalo diluar seh terserah. Klo cut ubit bicara bahasa Indonesia, nyanyak maupun ayah tetap jawab bahasa Aceh. Akhirnya cut ubit mulai terbiasa, klo dirumah bicara pake bahasa Aceh, disekolah dia bicara bahasa Indonesia.

Mulanya kami juga takut klo amina nanti nggak mau lagi bicara bahasa Aceh klo dia udah bisa bahasa Indonesia. Dirumah kan ada yang bantu-bantuin aku, ada bude, trus ada juga bibi(dulu) sekarang ada kakak cici, sama mereka amina bicara pake bahasa Indonesia. Lucu juga klo dengar amina bicara bahasa Indonesia, masih kecampur ma bahasa Aceh. Sedikit-sedikit aku atau bude atau cici benerin kata-katanya, klo dia salah bicara dalam bahasa Indonesia. Terkadang amina juga sering bicara ma cici atau bude pake bahasa Indonesia yang di-mix sama bahasa Aceh, jadilah mereka bengong, nggak ngerti sama apa yang dimaksud sama amina. Klo udah gitu, aku maupun abang yang jelasin, apa yang dimaksud oleh amina. Lama kelamaan cici, bude maupun bibi (kadang bibi masih sering maen) sedikit demi sedikit udah mulai ngerti juga bahasa Aceh.

Sekarang amina tetap bicara pake bahasa Aceh dengan mama dan ayah, dan bicara pake bahasa Indonesia dengan orang-orang dirumah. Jadi sekarang amina bisa bicara dalam 2 bahasa, Aceh dan Indonesia. Yang lucu, waktu kemaren ke melbourne, waktu kami jalan2 ke Zoo, dikandangnya Tortoise, ada anak bule yang deketin tortoise-nya, trus amina merasa takut ngeliatnya, trus amina bilang gini :"kak-kak itu ada kura-kura, ati2, sini kak:, amina pikir anak bule itu kan bukan orang aceh, nah dia pasti bicara bahasa indonesia, jadilah dia bicara bahasa Indonesia.

Dulu, waktu di Bangkok, ada juga temennya abang, yang dari India bawa anaknya yang berusia 5 tahun, Hanan namanya, saat itu amina masih berusia setahun lebih. Nah karena di apartemen sepi, nggak ada anak-anak, jadilah hanan yang kesepian sering ajak amina maen. Nah si Hanan ini bicara bahasa Inggris, lancar banget. Aku aja masih belibet ngomongnya, tapi lumayan lah, karena Hanan sering maen ke apartemen kami, aku, abang dan amina jadi dapet kursus gratis dari Hanan. Sejak temenan ma Hanan, amina sedikit2 mulai ngerti bahasa Inggris. Memang seh, abang dan aku sering juga ngomong bahasa Inggris ma amina cuma nggak konsisten. Jadinya amina ngerti bahasa Inggris dikit-dikit aja. Ceritanya neh, ayahnya Hanan tegas banget, Hanan harus bicara bahasa Inggris ma ayahnya, dan mamanya Hanan yang ngajarin dia ngomong bahasa Hindi. Ayah dan Mamanya Hanan bener2 konsisten ajarin anaknya dalam berbicara. Jadinya Hanan sekarang bisa 2 bahasa, Inggris dan Hindi.
Yah, samalah sama amina, amina juga bisa dua bahasa Aceh dan Indonesia. Amina sekarang juga berbicara bahasa Aceh dengan dek raufa.

Klo dengar-dengar cerita dari orang-orang, sekarang orang-orang kampung juga udah mulai malu jika anak-anak mereka bicara dalam bahasa daerah, kampungan katanya. Jadinya sekarang mereka mulai bicara bahasa Indonesia dengan anak-anaknya. Gimana kita mau maju coba, kalo kita sendiri udah mulai nggak menghargai kebudayaan kita sendiri, selama itu baik dan tidak melanggar agama. Siapa lagi yang menghargai kita jika bukan kita sendiri. Jangan menjadi orang yang lupa dengan identitas diri. Tetap menjadi diri sendiri dimanapun kita berada. Lihat orang Jepang, gimana majunya negara mereka sekarang, karena mereka sangat menghargai negara mereka.

Kesimpulannya,


  • jika ingin mengajarkan bahasa kepada anak, kita sebagai orang tua harus konsisten dan tegas. Tetapkan satu bahasa sebagai bahasa utama. Misalkan ayah ingin mengajarkan bahasa Inggris, maka setiap kali bicara dengan anak, ayah harus bicara dalam bahasa inggris sebagai bahasa utama. Dan apabila mama ingin mengajarkan bahasa daerah, maka mama juga harus selalu berbicara dalam bahasa daerah dengan anaknya. InsyaAllah berhasil.

  • Apabila anak tidak mau menjawab dengan bahasa yang ingin diterapkan, maka jelaskan bahwa bila berbicara dengan mama atau ayah, harus menggunakan bahasa yang dimaksud, apabila tidak, mama dan ayah juga tidak mau menjawabnya.

  • Jangan malu menggunakan bahasa daerah, dimana saja dan kapan saja. Kita harus bangga dengan bahasa daerah kita masing-masing. Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya. Jadi dimanapun kita berada kita selalu ingat darimana kita berasal.

  • Bicaralah dengan anak dengan bahasa yang sopan.

  • Mulailah berbicara bahasa daerah sejak dia masih dalam kandungan atau sejak dia masih kecil.

  • Hargai orang lain. Itu yang terpenting. Apabila ada kesalahan berbahasa, jangan ditertawakan, akan tetapi diperbaiki, supaya nantinya nggak salah lagi.

Panjang juga ya ceritanya, jangan bosen yah bacanya, semoga berguna buat yang lain.